Pedoman Teknis PPh Pasal 21

|

Berdasarkan Undang-undang nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pasal 21 berbunyi " Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri..." dan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak nomor PER-31/PJ/2009

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah :

  • Pemberi Kerja (Badan maupun Orang Pribadi)
  • Bendaharawan/ Pemegang Kas Pemerintah
  • Badan yang membayar uang pensiun dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
  • Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/ pekerjaan bebas
  • Badan yang membayar kepada orang pribadi sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan dengan status subyek pajak dalam negeri termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri. Juga kepada orang pribadi sehubungan dengan kegiatan dan jasa dengan status subyek pajak luar negeri.
  • Penyelenggara kegiatan yang membayar kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
Penerima Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 yaitu :
  • Pegawai
  • Penerima uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
  • Bukan pegawai yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
  • Peserta kegiatan yang menerima penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
  • Penghasilan yang diperoleh pegawai tetap secara teratur maupun tidak teratur.
  • Penghasilan yang diterima pensiunan secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
  • Penghasilan yang diterima sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua dan pembayaran lain yang sejenisnya.
  • Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas.
  • Imbalan kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
  • Imbalan kepada peserta kegiatan
  • Termasuk penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh  bukan Wajib Pajak,Wajib Pajak yang dikenakan PPh bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Penghasilan yang tidak dipotong PPh pasal 21 adalah :
  • Pembayaran santunan asuransi dari perusahaan asuransi
  • Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun kecuali penghasilan.
  • Iuran pesiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
  • Zakat yang diterima orang pribadi atau yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
  • Beasiswa.
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh pasal 21 adalah :
  • Penghasilan Kena Pajak atas pegawai tetap, penerima pensiun berkala, pegawai tidak tetap yang dalam 1 bulan menerima penghasilan komulatif melebihi Rp. 1.320.000,-, dan bukan pegawai selain tenaga ahli yang menerima penghasilan secara berkesinambungan.
  • Jumlah penghasilan melebihi Rp. 150.000,- sehari bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, mingguan, satuan dan borongan . jika penghasilan kumulatif tidak melebihi Rp. 1.320.000,- dalam sebulan.
  • 50% dari jumlah penghasilan bruto bagi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
  • Jumlah penghasilan bruto selain yang disebutkan diatas.
Penghasilan neto bagi pegawai tetap adalah penghasilan bruto yang dikurangi dengan :
  • Biaya Jabatan (5% dari penghasilan bruto) maksimal Rp. 500.000,-/bln atau Rp. 6.000.000,-/ thn
  • Iuran yang dibayar kepada dana pensiun yang telah disahkan oeh Menteri Keuangan.
Penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun (5% dari penghasilan bruto) maksimal Rp. 200.000,-/bln atau Rp. 2.400.000,-/thn.

Untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak dapat di Download disini.

(Bersambung)

Selengkapnya...

RUU PPN Telah diSahkan Menjadi UU

|

Rancangan Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (Ruu PPN dan PPnBM) telah disahkan menjadi Undang-Undang pada rapat paripurna DPR yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar, di Jakarta Rabu(16/9)

RUU tersebut merupakan perubahan ketiga atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM yang baru akan berlaku mulai 1 April 2010.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selaku wakil pemerintah menyatakan perubahan ketiga UU itu diharapkan akan lebih memberikan keadilan dan kemudahan kepada wajib pajak dalam memenuhi hak dan kewajibannya, kesederhanaan administrasi perpajakan, kepastian hukum, konsistensi dan transparansi, meningkatkan daya saing serta dapat meningkatkan investasi asing maupun dalam negeri di Indonesia.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan, beberapa objek pajak yang sudah dikenai pajak daerah akan dikecualikan dari pembebasan PPN. "Untuk menghindari pengenaan pajak berganda pada objek yang sama," terangnya saat rapat paripurna pembahasan RUU PPN dan PPnBM di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Berikut pokok-pokok perubahan :

1. Objek dan Non Objek Pajak

* Dalam rangka menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, maka atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud dalam RUU PPN dikenakan tarif 0% (nol persen).

* Barang hasil pertanian yang diambil langsung dari sumbernya tetap sebagai BKP yang pengenaan PPN-nya akan menggunakan mekanisme pedoman pengkreditan Pajak Masukan (Deemed Pajak Masukan).


2. Bukan Objek

* Untuk memberikan kepastian hukum, pengaturan jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, yang semula diatur dengan Peraturan Pemerintah dinaikkan ke batang tubuh UU PPN dan PPnBM.

* Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri energi dalam negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya termasuk batubara tetap sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.

* Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan harga yang terjangkau, maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.

* Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama, maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN, yaitu barang hasil pertambangan galian C, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran. rumah makan, warung dan sejenisnya, jasa perhotelan, jasa boga atau katering.

* Untuk memberikan perlakuan yang sama, Jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah ditetapkan sebagai bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN.

3. Pengembalian (Retur) Jasa Kena Pajak (JKP)

* Agar paralel dengan perlakuan pengembalian (retur) Barang Kena Pajak, dalam RUU PPN diatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.

4. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

* Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka batas atas tarif PPnBM dinaikkan dari 75% (tujuh puluh lima persen) menjadi 200% (dua ratus persen). Tarif tertinggi sebesar 200% (dua ratus persen) akan diterapkan apabila benar-benar diperlukan.

5. Pengkreditan Pajak Masukan.

* Dalam RUU PPN diatur bahwa Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal. Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha terse but ternyata gagal berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali. Pengaturan batasan jangka waktu untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang gagal berproduksi disepakati 3 (tiga) tahun sejak pengkreditan Pajak Masukan, dan berlaku untuk semua sektor usaha.

6. Restitusi PPN

* Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak. Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya (self assessment), Wajib Pajak tertentu yang memiliki resiko rendah, dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian bila diperlukan. Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) perbulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.

7. Deemed Pajak Masukan.

* RUU ini mengatur mengenai Deemed Pajak Masukan yaitu mekanisme penetapan besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi Wajib Pajak tertentu, baik berdasarkan omzet maupun kegiatan usaha (sektoral), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dalam menghitung kewajiban PPN-nya.

8. Pemusatan tempat PPN terutang.

* Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, RUU memberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Oirektur Jenderal pajak.

9. Saat pembuatan Faktur Pajak.

* Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Oengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.

* Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Mengingat ketentuan ini tidak diatur dalam Undang-Undang KUP, maka ketentuan tersebut diatur dalam RUU PPN.

10. Fasilitas Perpajakan.

* Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan maka diberikan penambahan fasilitas, antara lain untuk:
o perwakilan negara asing/badan-badan internasional
o impor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri
o listrik dan air
o kegiatan penanggulangan bencana alam nasional
o menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
o bahan baku kerajinan perak

11. Restitusi Turis Asing

* Dalam RUU PPN diatur mengenai pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri (Turis Asing), dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu).

12. Tanggung Renteng.

* Pengaturan mengenai tanggung renteng PPN yang pada waktu pembahasan RUU KUP diputuskan dihapus karena merupakan pengaturan material, dimasukkan ke dalam RUU PPN, mengingat ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.

13. Mulai Berlaku RUU PPN dan PPnBM.

* Mengingat diperlukannya waktu untuk mempersiapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini, penyempurnaan sistem dan prosedur, serta pelaksanaan sosialisasi baik internal maupun eksternal maka RUU PPN dan PPnBM ini diberlakukan mulai 1 April 2010.

Pemerintah akan menyiapkan peraturan pelaksanaan atas UU PPN dan PPnBM juga melakukan sosialisasi. Dengan demikian aturan ini dapat diberlakukan 1 April 2010.

Selengkapnya...

Kewajiban Memiliki NPWP

|

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Yang wajib mendaftarkan diri adalah:

Orang Pribadi sebagai Usahawan dan Badan

Orang Pribadi sebagai Usahawan (yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas termasuk pengusaha tertentu) dan Badan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) paling lama satu bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.

Orang Pribadi Non-Usahawan

Adalah Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas namun memiliki penghasilan satu bulan yang jika disetahunkan telah melebihi Penghasilan Kena Pajak (PTKP), wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama pada akhir bulan berikutnya.

Hal ini berlaku juga bagi wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah (karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan).



-Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan tidak hidup terpisah atau tidak melakukan pemisahan harta dan penghasilan, hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan hak dan kewajiban perpajakan suaminya.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atas namanya sendiri agar dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya secara terpisah dengan hak dan kewajiban perpajakan suaminya.

Selengkapnya...

Pengertian Dalam UU no.28 Tentang KUP

|

Sesuai dengan undang-undang nomor 28 tahun 2007, pemerintah menetapkan beberapa pengertian di bidang perpajakan. Kalau teman-teman mau secara lengkap, dapat didownload disini
.

Berikut Pengertian-pengertiannya :

1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksaberdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluannegara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yangmempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupunyang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usahamilik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannyamenghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barangtidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

5. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahanJasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasiperpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dankewajiban perpajakannya.

7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkanpajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

8. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yangtidak sama dengan tahun kalender.

9. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.

10. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, ataudalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

11. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/ataupembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakan.

12. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.

13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakanformulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh MenteriKeuangan.

15. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat KetetapanPajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atasjumlah pajak yang telah ditetapkan.

18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnyadengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaranpajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bungadan/atau denda.

21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokokpajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayaratau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang.

24. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagaiusaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yangdilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturanperundang-undangan perpajakan.

26. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapatmemberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakanyang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

27. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentangadanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasukwakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundanganperpajakan.

29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasikeuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periodeTahun Pajak tersebut.

30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.

31. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

32. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenangkhusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung,dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapatdalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi,Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat KeputusanPengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.

34. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yangdiajukan oleh Wajib Pajak.
36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.

37. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukanoleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.

38. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.

39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.

40. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.

41. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.

Selengkapnya...

Sistem Pemungutan Pajak

|

sistem Pemungutan Pajak di Indonesia menggunakan tiga sistem pemungutan yang harus diketahui oleh Wajib Pajak diseluruh Indonesia, antara lain Sistem Self Assestment, Sistem Official Assestment dan Sistem Withholding

Sistem Self Assestment

Dalam sistem self assestment ini, Wajib Pajak sendirilah yang menghitung, menetapkan, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terhutang melalui media formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Bulanan (masa) ataupun Tahunan. Fiskus atau Petugas Pajak hanya bertugas untuk melakukan penelitian apakah SPT tersebut telah diisi dengan lengkap (termasuk lampiran-lampiran pendukung), meneliti kebenaran penghitungan dan meneliti kebenaran penulisan.

Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan kebenaran data yang telah disampaikan Wajib Pajak melalui SPT tersebut, fiskus dapat melakukan pemerikasaan kepada Wajib Pajak.

Sistem Official Assestment

Dalam sistem official assestment ini, fiskus yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besarnya pajak terhutang.

Sistem ini digunakan pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), besarnya pajak terhutang ditetapkan oleh fiskus melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).

Sistem Withholding Tax

Dalam sistem ini, Pajak dihitung, ditetapkan , dipotong, disetor dan dilaporkan oleh pihak ketiga ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat Wajib Pajak terdaftar.

Hal ini wajib dilakukan oleh Bendaharawan, Pimpinan Perusahaan/ pemberi kerja.

Selengkapnya...

Kode Etik Pegawai

|

Direktorat Jenderal Pajak telah berubah, alias telah melakukan modernisasi. mulai dari pegawainya sampai dengan sistemnya.

Untuk meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan juga untuk menghindari Korupsi yang telah merajalela di Negara kita ini, DJP mengeluarkan kebijaksanaan menyangkut kewajiban dan larangan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang diberi nama Kode Etik Pegawai Pajak.

Berikut Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak:

I. Kewajiban Pegawai:

1.Menghormati agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat orang lain;
2.Bekerja secara profesional, transparan dan akuntabel;
3.Mengamankan data dan atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak;
4.Memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak, sesama pegawai, atau pihak lain dalam pelaksanaan tugas dengan sebaik-baiknya;
5.Mentaati perintah kedinasan;
6.Bertanggung jawab dalam penggunaan barang inventaris milik Direktorat Jenderal Pajak;
7.Mentaati ketentuan jam kerja dan tata tertib kantor;
8.Menjadi panutan yang baik bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan;
9.Bersikap, berpenampilan, dan bertutur kata sopan;

II. Larangan bagi Pegawai:

1.Bersikap diskriminatif dalam melaksanakan tugas;
2.Menjadi anggota atau simpatisan aktif partai politik;
3.Menyalahgunakan kewenangan jabatan baik langsung maupun tidak langsung;
4.Menyalahgunakan fasilitas kantor;
5.Menerima segala pemberian dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung, dari Wajib Pajak, sesama Pegawai, atau pihak lain, yang menyebabkan Pegawai yang menerima, patut diduga memiliki kewajiban yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya;
6.Menyalahgunakan data dan atau informasi perpajakan;
7.Melakukan perbuatan yang patut diduga dapat mengakibatkan gangguan, kerusakan dan atau perubahan data pada sistem informasi milik Direktorat Jenderal Pajak;
8.Melakukan perbuatan tidak terpuji yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan dapat merusak citra serta martabat Direktorat Jenderal Pajak;

Selengkapnya...
 

©2009 Modernisasi Pajak Indonesia | Template Blue by TNB